Mengapa Keyakinan, Bukan Bukti, Selalu Menjadi Langkah Pertama Menuju Pengetahuan
Perdebatan tentang asal-usul pengetahuan telah berlangsung selama berabad-abad. Banyak yang beranggapan bahwa bukti empiris, data terukur, dan observasi objektif adalah fondasi pengetahuan. Namun, argumen yang lebih mendalam menunjukkan bahwa keyakinan, betapapun subjektifnya, selalu mendahului bukti dalam pencarian pengetahuan. Ini bukanlah promosi terhadap sistem kepercayaan tertentu, melainkan sebuah eksplorasi filsafat metafisika yang mendasar: semua pengetahuan kita bermula dari keyakinan, dan semua yang kita “tahu” pada awalnya hanyalah sebuah keyakinan. Menolak fakta ini adalah bentuk penghindaran intelektual, karena ini adalah akal sehat dan filsafat yang baik.
Bukti, pada hakikatnya, hanya dapat mendukung atau menyanggah keyakinan yang telah ada sebelumnya. Kita tidak bisa secara acak mengumpulkan bukti tanpa memiliki kerangka referensi, hipotesis, atau keyakinan awal tentang apa yang sedang kita selidiki. Kita hanya bisa memberikan bukti untuk hal-hal yang telah kita yakini sebagai kebenaran, setidaknya sebagai kemungkinan kebenaran yang layak diselidiki. Jadi, keyakinan datang lebih dulu, dan pembuktian datang setelahnya—sebagai proses verifikasi atau falsifikasi dari keyakinan awal tersebut.
Pertimbangkan contoh sederhana: kita melihat sesuatu di kejauhan. Sebelum kita melakukan analisa detail, kita memiliki keyakinan awal, mungkin sekilas, bahwa itu adalah seekor anjing. Keyakinan ini, sekilas dan mungkin keliru, merupakan titik awal. Kemudian kita mendekati objek tersebut, mengumpulkan lebih banyak bukti: bentuk tubuh, warna bulu, cara bergerak. Bukti ini kemudian digunakan untuk mendukung atau menolak keyakinan awal kita. Kita mungkin merevisi keyakinan kita menjadi “itu mungkin seekor serigala,” atau bahkan “itu hanyalah seonggok sampah yang menyerupai anjing.” Proses ini—keyakinan awal, pengumpulan bukti, revisi keyakinan—merupakan inti dari bagaimana kita memperoleh pengetahuan.
Bahkan dalam ilmu pengetahuan, yang sering dianggap sebagai benteng objektivitas, keyakinan mendahului bukti. Para ilmuwan memulai dengan hipotesis—yakin bahwa suatu fenomena tertentu dapat dijelaskan dengan cara tertentu. Mereka kemudian merancang eksperimen untuk menguji hipotesis tersebut, mengumpulkan data (bukti), dan menganalisis hasilnya. Data tersebut dapat mendukung atau menolak hipotesis, namun hipotesis itu sendiri, keyakinan awal, tetap menjadi titik awal.
Tentu, Problem Gettier menghadirkan tantangan terhadap gagasan bahwa keyakinan yang dibenarkan selalu menghasilkan pengetahuan. Problem ini menunjukkan kasus-kasus di mana seseorang memiliki keyakinan yang benar dan dibenarkan, namun pengetahuan tampaknya tidak tercapai karena keberuntungan atau kebetulan. Contoh klasik melibatkan seseorang yang melihat jam yang menunjukkan pukul tiga, dan secara benar yakin bahwa jam itu menunjukkan pukul tiga, tanpa mengetahui bahwa jam tersebut sebenarnya telah berhenti pada pukul tiga beberapa jam sebelumnya.
Penjelasan yang mungkin untuk kasus-kasus Gettier ini adalah:
- Kekeliruan: Pembenaran yang tampak valid mungkin sebenarnya cacat. Meskipun memberikan dukungan yang kuat untuk kebenaran keyakinan, dukungan tersebut tidak sempurna, sehingga masih ada kemungkinan keyakinan tersebut salah.
- Keberuntungan: Ada unsur keberuntungan yang signifikan dalam kasus Gettier. Keadaan yang tidak terduga atau kebetulan menyebabkan keyakinan tersebut benar, meskipun proses pembenarannya mengandung kelemahan fundamental.
Meskipun Problem Gettier menghadirkan kerumitan, hal ini tidak membatalkan premis dasar bahwa keyakinan selalu menjadi langkah pertama dalam memperoleh pengetahuan. Problem ini justru menyoroti pentingnya evaluasi kritis terhadap pembenaran keyakinan kita dan perlunya pencarian bukti yang teliti dan komprehensif. Namun, tanpa keyakinan awal, pencarian bukti itu sendiri tidak akan pernah dimulai. Keyakinan, sebagai titik awal, tetap tak tergantikan dalam perjalanan menuju pengetahuan.