Media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern. Platform seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan TikTok menawarkan akses instan ke informasi, hiburan, dan koneksi sosial. Namun, penting untuk memahami bahwa alam semesta digital ini beroperasi dengan mekanisme yang berbeda jauh dari dunia akademik dan penelitian ilmiah. Media sosial bukanlah tempat yang dirancang untuk kebenaran ilmiah yang teruji; ia lebih merupakan ruang publik yang beragam, dinamis, dan seringkali, bersifat menghibur ketimbang informatif secara akademis.
Variabilitas konten di media sosial sangat tinggi. Informasi yang beredar, mulai dari berita terkini hingga opini pribadi, bercampur aduk tanpa filter ketat. Tidak ada ikatan kuat terhadap nilai-nilai budaya atau sosial tertentu yang dominan. Hal ini menyebabkan munculnya berbagai perspektif, kadang-kadang saling bertentangan, dan bahkan informasi yang menyesatkan atau hoaks. Kebebasan berekspresi yang menjadi ciri khas media sosial, sementara itu, juga memungkinkan penyebaran informasi yang belum tentu diverifikasi kebenarannya.
Bandingkan dengan platform seperti Google Scholar, jurnal ilmiah bereputasi, Scimago, dan Scopus. Platform-platform ini dirancang khusus untuk penyebaran dan akses terhadap penelitian ilmiah yang terverifikasi. Konten di dalamnya tunduk pada proses peer-review yang ketat, mematuhi metodologi ilmiah yang teruji, dan berorientasi pada objektivitas dan bukti empiris. Tidak ada ruang untuk opini subjektif tanpa landasan data yang kuat. Kebenaran di sini diukur berdasarkan keakuratan metodologi, validitas data, dan reproduksibilitas temuan. Singkatnya, platform-platform ini menawarkan “keseriusan” yang terikat oleh pakem-pakem ilmiah tanpa kompromi.
Namun, bukan berarti media sosial sepenuhnya tanpa nilai. Ia berperan penting dalam penyebaran informasi, pembentukan opini publik, dan mobilisasi sosial. Namun, perlu kehati-hatian dalam mengonsumsi informasi dari platform ini. Kita perlu memiliki kemampuan kritis untuk memilah informasi yang valid dari yang tidak, untuk membedakan fakta dari opini, dan untuk menyadari adanya potensi bias dan kepentingan yang melatarbelakangi sebuah konten. Banyak konten di media sosial didorong oleh unsur hiburan, interaksi sosial, dan kepentingan bisnis, bukan semata-mata penyebaran kebenaran ilmiah.
Kesimpulannya, media sosial dan platform penelitian ilmiah memiliki tujuan dan mekanisme yang berbeda. Media sosial adalah ruang publik yang dinamis dan beragam, ideal untuk interaksi sosial dan hiburan, tetapi bukan tempat yang ideal untuk mencari kebenaran ilmiah yang teruji. Untuk mendapatkan informasi yang serius dan terpercaya, kita perlu berpaling ke platform-platform yang didedikasikan untuk penelitian ilmiah yang kredibel, di mana kebenaran diuji dan diverifikasi melalui metode ilmiah yang ketat. Jangan mencampuradukkan keduanya. Mengetahui perbedaan ini penting untuk menjaga literasi informasi dan menghindari penyebaran misinformasi.