Ungkapan “makin berisi makin merunduk” lazim terdengar di tengah masyarakat yang sering diistilahkan dengan ilmu padi. Seringkali, ungkapan ini digunakan untuk menggambarkan seseorang yang sukses, kaya, atau berpengetahuan luas cenderung bersikap rendah hati dan tidak sombong. Namun, penggunaan yang meluas ini justru berpotensi menyesatkan dan menciptakan persepsi yang keliru. Faktanya, korelasi antara “berisi” (dalam artian kaya, berpengetahuan, atau berpengaruh) dan “merunduk” (dalam artian rendah hati) bukanlah suatu kausalitas yang pasti. Menganggap keduanya selalu beriringan adalah sebuah generalisasi yang berbahaya.

Ungkapan ini menjebak kita dalam sebuah false equivalence. Ia menciptakan ilusi bahwa sifat rendah hati menjadi bukti mutlak dari kesuksesan atau kebijaksanaan. Padahal, seseorang bisa saja merunduk karena berbagai alasan lain yang sama sekali tidak berkaitan dengan “keberisian” dirinya. Kemungkinan tersebut meliputi:

  • Rasa rendah diri: Seseorang yang merunduk bisa jadi karena kurang percaya diri, meskipun sebenarnya memiliki potensi dan kemampuan yang besar. Merunduknya bukanlah indikasi “keberisian”, melainkan justru sebaliknya, yaitu kurangnya keyakinan diri.
  • Ketakutan: Tekanan sosial, lingkungan yang intimidatif, atau trauma masa lalu dapat membuat seseorang merunduk dan menghindari konflik, meskipun sebenarnya ia memiliki pendapat atau kemampuan yang signifikan.
  • Kepatuhan yang berlebihan: Seseorang yang terbiasa patuh dan tunduk mungkin merunduk bukan karena “berisi” tetapi karena kepribadiannya yang cenderung menghindari konfrontasi.
  • Manipulasi: Dalam beberapa kasus, merunduk bisa menjadi strategi untuk mendapatkan simpati atau keuntungan tertentu. Ini bukanlah indikasi “keberisian” yang tulus, melainkan bentuk manipulasi.

Contoh konkret di mana ungkapan ini menjadi tidak tepat:

  • Konteks Profesional: Seorang karyawan yang selalu merunduk di hadapan atasannya, bukan berarti ia lebih kompeten atau “berisi” dibandingkan rekan kerjanya yang lebih vokal. Ia mungkin hanya takut akan konsekuensi bila menyuarakan pendapatnya.
  • Konteks Sosial: Seseorang yang selalu bersikap merendah dalam pergaulan sosial belum tentu lebih bijaksana atau berpengetahuan luas dibandingkan orang lain. Ia mungkin saja memiliki kerendahan hati yang tulus, namun juga mungkin menyembunyikan ketidakpercayaan diri atau bahkan keegoisan.
  • Konteks Politik: Seorang pemimpin yang selalu merendah dan menghindari kontroversi tidak selalu berarti ia lebih baik atau lebih kompeten daripada pemimpin lain yang lebih vokal dan tegas. Merunduk dalam konteks ini bisa jadi strategi politik untuk meraih popularitas semata.

Kesimpulannya, ungkapan “makin berisi makin merunduk” harus dilihat secara kritis. Ia bukanlah sebuah kebenaran universal, melainkan sebuah generalisasi yang seringkali menyesatkan. Merunduk bukanlah indikator tunggal atau bahkan indikator yang akurat untuk mengukur “keberisian” seseorang. Kita perlu berhati-hati dalam menggunakan ungkapan ini dan lebih bijak dalam menilai individu berdasarkan karakter dan kualitasnya yang sesungguhnya, bukan hanya berdasarkan penampilan atau sikapnya yang terkesan merendah. Menilai seseorang berdasarkan satu aspek semata tanpa melihat konteks dan bukti yang komprehensif adalah bentuk penilaian yang dangkal dan tidak adil.